Minggu, 25 September 2022

Kekerasan di Pondok Pesantren Kembali diperbincangkan setelah mencuat beberapa kasus kekerasan yang bahkan sampai merengut jiwa santrinya. Peristiwa tersebut menjadikan hal yang sangat mengerikan apalagi terjadi dilembaga yang notabenenya lembaga pendidikan keagamaan. 

Meskipun, peristiwa kekerasan dalam dunia pendidikan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan telah terjadi sepanjang sejarah berdirinya lembaga Pendidikan itu sendiri, baik yang bersifat maupun non formal.

Kekerasan yang terjadi dalam dunia Pendidikan selama ini dilandasi oleh berbagai macam latar belakang. Kekerasan itu bisa dalam bentuk kekerasan fisik maupun dalam bentuk  kekerasan verbal semacam intimidasi dan perundungan (bully).

Ternyata kekerasan yang terjadi selama ini, bukan hanya terjadi secara fisik dan atau perundungan semata. Beberapa peristiwa yang terjadi juga sangat mengerikan yaitu menimbulkan korban jiwa.

Dikutip dari berbagai sumber berita, peristiwa nyata yang mengerikan di lingkungan Pondok Pesantren yang terjadi akhir-akhir ini adalah seperti terjadi di Pondok Pesantren  Gontor, salah seorang santrinya yang  berinisial AM (17) meninggal dunia diduga akibat penganiayaan yang dilakukan seniornya.

Kemudian Pengeroyokan di Pondok Pesentren Darul Qur'an Lantaburo Cipondoh, Tangerang, seorang santri yang berinisial RAP meninggal dunia diduga akibat dikeroyok oleh sejumlah santri lainnya pada 27 Agustus 2022.  Pada peristiwa in, polisi telah menetapkan 12 santri sebagai tersangka.

Peristiwa lain yaitu perkelahian di Pondok Pesantren  Daar El-Qolam Tangerang
Seorang santri di Tangerang meninggal dunia usai berkelahi dengan temannya di lingkungan pondok Daar El-Qolam Tangerang pada 7 Agustus 2022. Pengoroyokan ditengarai perkelahian dari toilet di kamar korban BD (15). Pelaku RE (15) datang seraya mendorong pintu kamar mandi dan mengenai BD hingga memicu amarah.

Contoh nyata di atas membuat semuanya miris. Apalagi, orang tua yang anaknya sedang menimba ilmu di Lembaga-lembaga tersebut (baca: Pondok Pesantren). Sebab, bukan tidak mungkin efek kekerasan, bila tidak ditanggulangi dengan cepat, akan menimpa anaknya.

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, kekerasan yang terjadi di Pondok Pesantren sebagaimana Lembaga Pendidikan lainnya, bisa dilakukan oleh Pendidikan kepada anak didik, anak didik kepada pendidik, anak didik senior kepada juniornya  dan kelompok anak didik terhadap teman sebayanya.

Kekerasan di Pondok Pesantren rentan dipicu oleh hal-hal sebagai berikut:

1.    Kekerasan yang dipacu dan dilakukan pendidik (ustadz/ah) kepada santrinya. Meskipun ini sangat sedikit terjadi tetapi pada fakta kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap para santrinya tetap ada. Bisa jadi penyebab adalah para Pendidik kurang dibekali dengan ilmu mendidik.  Hal ini terjadi, karena ada Lembaga Pendidikan seperti Pondok Pesantren yang mengangkat pendidiknya dari santri senior atau yang baru lulus karena faktor prestasinya. Mereka langsung dipercayakan untuk mengajar tanpa pernah mengikuti training mendidik sekalipun.  Jangankan mereka yang tidak pernah mengikuti training mendidik dan mengajar, terkadang para guru lulusan Lembaga Kependidikan sering melakukan kesalahan dalam bentuk kekerasan kepada anak didik.

2.   Pondok Pesantren adalah sebuah Lembaga Pendidikan berbasis Boarding dimana semua santri 24 jam berada dan tinggal dalam asrama dalam lingkungan pondok.  Tentu saja setiap asrama memiliki penanggungjawab sendiri-sendiri.  Biasanya, penanggungjawab asrama disebut musrif. Musrif ada yang direkrut khusus atau dari santri senior yang telah menyelesaikan kesantriannya.  Para musrif yang direkkrut biasanya mereka yang belum berkeluarga dengan tujuan agar bisa full time di asrama. Tetapi Ada juga pesantren yang menunjukkan santri senior kelas akhir sebagai musrif untuk membina para junior. Tugas para musrif ini dapat dikategortikan sangat berat yaitu pembinaan dan penegakan kedisiplinan secara langsung di asrama. Termasuk mengontrol petugas piket dan petugas  kebersihan asrama. Mereka diberi tugas menjaga agar para santri tidak keluyuran, tidur tepat waktu dan lain sebagainya. Tugasnya musrif seperti itu, tentu dan sudah dapat dipastikan terjadi gesekan yang berakibat terjadinya kekerasan (mungkin mereka yang pernah mondok bisa memahami ini).

3.   Senioritas adalah salah pemicu terjadinya kekerasan di Pondok Pesantren atau juga di Lembaga Pendidikan lain terutama yang berbasis boarding. Para senior di Pondok Pesantren berinteraksi langsung 24 jam dengan  para juniornya di Lembaga Pendidikan berbasis boarding. Kekerasan terjadi karena para Senior memanfaatkan juniornya untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh para senior.  Bila mereka patuh dan takut kepada senior semacam ini maka akan selamat atau aman. Tetapi, tidak semua bisa didekte seenak senior ini menjadi pemicu atau pengeroyokan. Senioritas seperti ini sangat berbahaya dan korban keganasan mereka sudah ada. Biasanya mereka lakukan karena menjaga marwah senioritas dengan alasan membina para junior.

4.   Perudungan juga menjadi pemicu kekerasan di Lembaga seperti Pondok Pesantren dan juga di Lembaga Pendidikan lain. Perudungan bisa dilakukan oleh senior atau bahkan teman sebayanya. Perudungan sering terjadi pada anak-anak baru masuk. Bila dilakukan senior alasannya juga untuk membina para juniornya.

5.   Kekerasan juga bisa terpiju karena karena kesempatan para senior ikut lomba diambil alih oleh juniornya. Mungkin karena misalnya para pengelola Pondok Pesantren atau sebuah Lembaga Pendidikan ingin objektif mengirim perwakilan lomba berdasarkan hasil seleksi yang kebetulan didominasi oleh junior. Karena iri hati, para senior mengitiminasi atau sampai pada pemukulan kepada junior yang ikut lomba agar juniornya tidak ikut lomba dan kemudian ditunjukkan seniornya untuk ikut lomba.

6.   Hal yang perlu diingatkan juga kepada sejumlah pondok pesantren  bahwa praktek “palak memalak” juga masih terjadi meskipun terkadang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Praktek ini tidak jarang berakhir pada kekerasan.

Pemicu kekerasan di Pondok Pesantren perlu mendapat perhatian ketat dari pengelola Pondok Pesantren. Sebab pemiju tersebut masing sering terjadi sampai saat ini.  Para pengelola Pondok Pesantren harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap manajemen Pondok Pesantren dan menghapuskan segala tindakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan. Saya yakin  mengelola santri yang terkadang jumlahnya ribuan seperti Pondok Pesantren Gontor tidaklah semudah membalik telapak tangan.  Sebab, kekerasan itu terjadi tidak melihat apakah pesantren itu sudah terkenal atau belum. Terkadang, kita anggap ada pondok pesantren yang memiliki majajemen yang hebat tiba-tiba terjadi juga kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Pondok Pesantren perlu terus menerus melakukan pembenahan. Jangan terlena dengan zona yang dianggap aman selama ini. Meskipun selama ini dikenal hebat dan aman, tetapi kecolongan juga. Sebab bila tidak ada perbaikan dan kontrol yang ketat akan  merugikan Lembaga, orang tua dan santri itu sendiri (**dj).


Sabtu, 02 April 2022

Penetapan hari puasa  bagi ummat Islam di Indonesia tidak selalu sama. Begitu juga dengan tahun ini. Terjadi perbedaan penentuan awal puasa bagi umat Islam di Indonesia. 

Sebagai mana kita ketahui  warga Muhammadiyah, salat Tarawih telah dimulai pada malam Sabtu (1 April 2022). Hal ini sesuai dengan penetapan  Puasa yang dikeluarkan PP Muhammadiyah sehingga puasa akan dimulai hari Sabtu (2 April 2022). Namun Pemerintah melalui Kementerian Agama berdasarkan sidang Isbat yang dilakukan tanggal 1 April 2022 sore menetapkan puasa pada hari Ahad, 3 April 2022. .

Sidang isbat dilakukan setelah menerima laporan dari para pemantau hilal yang tersebar di 101 titik mulai dari Sabang sampai Merauke.

Bagi masyarakat awam dan anak-anak muda yang belum memahami penetapan awal Ramadan memunculkan pertanyaan serius. Kenapa penetapan awal mesti berbeda?

Jawabannya adalah  Ada dua metode penentuan awal puasa Ramadhan, yakni rukyat dan hisap. Lantas apa perbedaan diantara keduanya? Mengapa awal puasa bisa jatuh di tanggal yang berbeda?

Melansir sejumlah sumber,  hisab adalah penghitungan secara astronomis dalam menentukan posisi bulan sebagai tanda dimulainya awal bulan pada kalender Hijriah. Metode ini dilakukan berdasarkan perhitungan yang dilakukan jauh hari sebelum masuk bulan Ramadhan agar bisa menentukan kapan jatuh 1 Ramadan.

Di Indonesia, terdapat rujukan kitab yang menggunakan metode kontemporer untuk menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah. Caranya dilakukan dengan cara menggunakan rumus untuk menghitung awal bulan dengan data astronomis. Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal Ramadhan.

Hisab hakiki wujudul hilal menjadi dasar penentuan kapan bulan baru dalam penanggalan qomariah dimulai, termasuk 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah.

Sementara itu metode rukyat adalah aktivitas mengamati bulan secara langsung dengan menggunakan teropong. Aktivitas ini berfokus pada visibilitas hilal atau bulan sabit muda saat matahari terbenam sebagai pergantian kalender Hijriah. Metode ini digunakan oleh pemerintah untuk menentukan awal Ramadan. 

Setiap tahun,  pemerintah melalui Kementerian Agama memantau ratusan titik di seluruh Indonesia untuk menentukan awal Ramadhan. Tahun ini, pengamatan hilal dimulai pada 1 April 2022, jika pada saat itu  ada satu  di antara petugas pemantau bisa melihat hilal, sehinggan maka 1 Ramadhan akan jatuh pada 2 April 2022.

Tetapi kenyataan, pada tanggal 1 April hilal belum terlihat, maka Kemenag akan memakai metode istikmal, di mana puasa akan jatuh pada 3 April 2022.  

Selama ini, kriteria hilal (bulan) awal Hijriah yang dipedomani Kemenag adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. MABIMS bersepakat untuk mengubah kriteria tersebut menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

Metode penentuan Awal Ramadan

Metode Hisab Wujudul Hilal merupakan metode yang menghitung secara astronomis posisi bulan. Bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat; telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.

Menjadikan keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan baru merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat.

Sama seperti imkan rukyat, metode wujudul hilal juga bagian dari hisab hakiki. Bedanya, wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab imkan rukyat. Jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.

Rukyatul Hilal adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Kamariah. Dengan kata lain, rukyat hanya dilakukan manakala telah terjadi konjungsi bulan-matahari dan pada saat matahari terbenam, hilal telah berada di atas ufuk dan dalam posisi dapat terlihat.

Jika pada tanggal tersebut hilal tidak terlihat, entah faktor cuaca atau memang hilal belum tampak, maka bulan kamariah digenapkan jadi 30 hari. Metode ini biasanya dilakukan menjelang hari-hari besar umat Islam seperti awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Metode ini tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui pada h-1 atau hari ke-29.

Namun bagi MUI, kedua metode tersebut sebenarnya satu kesatuan, karena baik hisab maupun rukyat saling mengonfirmasi dalam menentukan awal bulan Hijriah.

Hasil perhitungan  astronomi atau hisab, dijadikan sebagai informasi awal yang kemudian dikonfirmasi melalui metode rukyat (pemantauan di lapangan).

Sementara itu, kriteria MABIMS merupakan hasil Muzakarah Rukyah dan Takwim Islam MABIMS pada 2016 di Malaysia. Kriteria ini diperkuat oleh Seminar Internasional Fikih Falak di Jakarta yang menghasilkan Rekomendasi Jakarta tahun 2017 serta baru diterapkan di Indonesia pada 2022.

Selama ini, kriteria hilal (bulan) awal Hijriyah adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. MABIMS bersepakat untuk mengubah kriteria tersebut menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (sumber: dihimpun dari berbagai sumber).

Wadah Independen

Pertanya yang muncul selama ini adalah apakah penetapan awal puasa tidak bisa disamakan diseluruh Indonesia?

Pertanyaan tersebut semestinya perlu di respon oleh negara (mungkin) melalui kementerian agama. Sebab hal ini penting dilakukan agar umat Islam di Indonesia memiliki satu-satu pedoman dalam penentuan awal puasa. Sehingga tidak seperti selama ini didasarkan pada organisasi Muhammadiyah dan NU. Bila Muhammadyah cenderung berjalan sendiri dengan metode penetapan yang menjadi pedomannya. Sementara selama ini, NU cenderung bersama pemerintah. Apalagi saat ini yang menakhodai Kementerian agama berasal dari kader Nahdiyin. 

Beberapa tahun yang lalu, pelaksanaan puasa di Indonesia sudah cenderung dapat dilakukan dengan jadwal yang sama. Tetapi tahun ini, penetapan awal puasa sudah kembali berbeda.

Menyingkapi hal itu, apakah tidak sebaiknya pemerintah membentuk Wadah Independen khusus dalam penetapan awal puasa atau penetapan yang lain. 

Wadah independen ini terdiri dari berbagai organisasi Islam terutama Organisasi NU dan Muhamadiyah. Tentu saja dalam penentuannya, masing-masing organisasi keagamaan ini tidak perlu menonjolkan metode mana yang terbaik. Semuanya diberi kesempatan untuk memberi argumentasi yang pada akhirnyan diambil keputusan yang tidak membuat masyarakat membingungkan. Sehingga tidak terkesan umat Islam dianggap selalu berpecahbelah (dj)





Demikian informasi mengenai perbedaan rukyat dan hisab. Terlepas dari kapan puasa akan dimulai, yang paling penting adalah meniatkan bulan Ramadhan untuk beribadah. Jangan sampai puasa justru mengendurkan iman, apalagi hanya sebagai ajang balas dendam mengingat harus menahan lapar dan haus seharian. 


Jumat, 15 Mei 2020

Ramadan tahun ini hadir di tengah pademik COVID-19. Sejak awal Ramadan sampai saat ini berita kematian meliputi hari-hari. Termasuk informasi pasien yang terinfeksi positif serta orang-orang dalam pengawasan (ODP) semakin bertambah.
Wabah pandemik COVID-19 memang diprediksikan akan berimbas pada berbagai lini kehidupan. Tak hanya mengancam jiwa, juga melumpuhkan perekonomian negara. Dunia usaha banyak yang tak bisa bergerak bahkan ada yang lumpuh. Banyak karyawan yang dirumahkan (PHK). Angka pengangguran meningkat drastis. Bahkan ada yang sudah mulai kesulitan hanya sekedar untuk makan. Krisis ekonomi dan krisis sosial agaknya (mudah-mudahan tidak) sudah di depan mata.
Sampai saat ini belum ditemukannya vaksin anti korona yang ampuh. Makanya, segala daya upaya dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 agar tidak meluas dan tidak semakin banyak jatuh korban. Mulai dari physical atau social distancing sampai penerapan kebijakan Lockdown
Istilah Lockdown menjadi sangat populer selama pandemik COVID-19. Lockdown dimaknai sebagai sebuah kebijakan untuk mencegah pemindahan orang, baik masuk atau keluar dari suatu wilayah.
Ternyata, konsep lockdown dalam sejarah perkembangan Islam bukan hal baru. Dalam menghadapi wabah, Rasulullah SAWa telah memberi teladan kepada ummatnya. Bahwa bila datang suatu wabah di suatu daerah tidak boleh memasuki wilayah tersebut. Bila sudah berada  dalam wilayah yang sedang mewabah maka jangan keluar dari wilayah tersebut.
Saat ini, beberapa negara seperti Vietnam, Malaysia dan beberapa negara di Eropa telah menerapkannya. Namun di Indonesia, di daerah  episentrum COVID-19 seperti Jabodetabek,  Jabar, Surabaya dan beberapa daerah lain menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Salah satu faktor keberhasilan Lockdown atau apapun istilahnya itu adalah kedisplinan warga dalam mematuhi protokoler pencegahan. Misalnya,  tidak memaksakan diri beraktivitas diluar, sebisa mungkin beraktifitas di rumah atau Work At Home (WAH) dan tetap di rumah atau Stay At Home (SAH). Dalam kondisi seperti ini, pemerintah berkewajiban memberi insentif  tertentu kepada rakyatnya.
Sementara itu, Ramadan dalam suasana "lockdown" seperti saat ini memiliki makna tersendiri. Beda dengan Ramadan dalam keadaan normal. Dalam keadaan "lockdown" ada pembatasan aktivitas warga diluar rumah. Sehingga suasananya sejalan dengan suasana yang diharapkan dalam bulan Ramadan dimana muslim di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa.
Bagi kaum muslim, Ramadan  adalah bulan yang dinanti-nantikan. Dimana, dalam Ramadan selalu bertaburkan rahmat, maghfirah, pahala berlipat ganda dan pertolongan Allah SWT. Dalam rangka menggapai itu semua sebisa mungkin pelaksanaan ibadah terutama ibadah puasa yang diwajibkan kepada orang-orang beriman (QS: Al-Baqarah: 183) dapat dilakukan sekhusuk mungkin.
Bagi orang-orang beriman, melaksanakan ibadah puasa dengan khusuk adalah sebuah kenikmatan. Menikmati kenikmatan berpuasa adalah puncak tertinggi yang diimpikan selama bulan Ramadan. Lagi pula, puasa memiliki terminasi istimewa yaitu ibadah yang tak tertandingi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Abu Ummah Al-Bahili: "Hendaklah engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya" (HR.Ahmad dan Nasa'i).
Kemudian ditambah lagi makna puasa di sisi Allah SWT seperti dalam sebuah hadist Qudsi yang sering dibacakan penceramah di setiap bulan Ramadan, Allah berfirman: "Setiap amal manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan langsung memberikan pahalanya" (HR. Bukhari-Muslim).
Melaksanakan ibadah puasa dalam suasana wabah COVID-19, tentu ada sebagian orang memiliki perasaan  khawatir dan was-was serta menakutkan. Namun, bagi orang-orang beriman dalam kondisi apapun pasti akan selalu mengedepankan kesabaran. Apalagi ibadah puasa identik dengan sikap sabar. Orang yang berpuasa akan diberi pahala tanpa batas sebagaimana orang-orang yang sabar. Allah SWT berfirman: "Sungguh orang-orang yang sabar itu diberi pahala tak terbatas" (QS: Az-Zumar:10).
Kemudian puasa dalam suasana wabah COVID-19 pasti memiliki nilai sangat istimewa di hadapan Allah SWT. Sebab ada tiga jenis kesabaran dalam menjalani ibadah puasa saat wabah COVID-19, yaitu: Pertama, sabar karena ketaatan kepada Allah yakni menahan makan, minum dan melakukan hubungan suami isteri. Kedua, sabar tidak bisa mengunjungi sanak saudara dikampung. Ketiga, sabar menghadapi kondisi yang tidak menentu karena tidak tahu kapan COVID-19 ini berakhir.
Dalam menghadapi wabah, pahala kesabaran setara dengan pahala syahid. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW: "Tidaklah seorang hamba, saat tha'un (wabah) terjadi berdiam di negerinya -- dalam riwayat Imam Ahmad yang lain, lalu berdiam di rumahnya-- seraya bersabar dan mengharap ridha Allah, dan dia menyadari bahwa tidak menimpa dirinya kecuali apa telah Allah tuliskan untuk dia, kecuali bagi dia pahala semisal pahala syahid" (HR. Bukhari dan Ahmad).
Hadis diatas menggambarkan ganjaran pahala yang sangat besar saat menjalani "lockdown" yang dilakukan dengan sabar serta yakin dengan ketentuan Allah.  Belum lagi menjalaninya dalam bulan Ramadan seperti kondisi saat ini.
Bahkan bagi orang-orang beriman, untuk mencapai nilai sempurna ibadah puasa dalam bulan Ramadan, tanpa wabahpun sudah membatasi diri selalu dalam suasana mirip lockdown. Sehingga dalam kondisi seperti saat ini dimana COVID-19 belum mampu dihentikan secara total. Maka Ramadan adalah kesempurnaan "Lockdown" Bagi Orang-Orang yang Beriman. Wallahu Ta'ala 'Alam. (Refrensi dari berbagai sumber). Banda Aceh, 7-10 Ramadan 1441H /1-3 Mei 2020 M.

Jumat, 01 Mei 2020

Hari Jumat yang lalu  Tanggal 23 April 2020 M, bertepatan dengan 1 Ramadhan 1441 H. Artinya, pada hari itu seluruh muslim dunia sudah memulai pelaksanaan salah satu ibadah wajib yaitu puasa pada bulan Ramadhan.
Kebiasaan muslim dalam menyambut bulan Ramadhan selalu diliputi rasa gembira dan senang. Karena bulan Ramadan memiliki kelebihan-kelebihan termasuk pengampuanan dari dosa-dosa yang ada.   
Berdasarkan pantauan suasana penyambutan bulan Ramadan di Aceh, yang selalu disambut dengan rasa gembira dan senang yang terakumulasi dalam tradisi Meugang, yaitu tradisi  menyabut bulan puasa  dengan makan masakan daging di setiap rumah. 
Meskipun meugang di Aceh tetap berlangsung tapi tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terpantau dari lapak penjualan daging dimana animo masyarakat menurun drastis.
Saya yakin, diseluruh duniapun menyambut bulan yang mulia bagi umat muslim tidak seperti biasa.  Perbedaan suasana tersebut tentu saja karena dunia sedang dilanda pademi global yaitu wabah virus covid-19  yang mematikan. 
Sehingga saat menjelang puasa, kebanyakan muslim masih diliputi rasa was-was bahkan masih banyak orang yang harus berada dalam karantina. 
Ada lagi yang harus mengikuti protokol pencegahan karona seperti physical atau social distancing dan bahkan ada himbauan tak boleh mudik ke kampung halaman. 
Termasuk ada ketentuan tidak boleh berkumpul shalat tarawih pada malam-malam Ramadhan di Mesjid. Hal ini, menjadi pukulan tersendiri bagi semua muslim apakah dia selama ini ta'at atau biasa-biasa saja dalam beribadah.
Semua itu terjadi karena ada makhluk Allah yang teramat sangat kecil tak bisa dilihat dengan mata telanjang, yang dikenal dengan nama Korona. Makhluk kecil ini membuat manusia resah dan dibuatnya tak berdaya.
Bukan hanya negara-negara miskin yang tak berdaya tetapi negara super power seperti Amerika Serikat dibuatnya tak mampu berbuat apa-apa.
Apalagi sampai saat ini para ahli di berbagai belahan dunia belum mampu menemukan obat menghentikan penyebaran  virus Covid-19. Sehingga, setiap hari jumlah orang yang meninggal terus meningkat.
Sebagai orang yang beriman apa yang terjadi saat ini dengan wabah virus covid-19, harus menjadi pembelajaran dan bahan renungan.
Kenapa tidak, hanya dengan makhluk halus tak seorangpun berkutik dan kuasa melawannya, baik dia raja, pemimpin, orang kaya, hebat, semua harus sembunyi di rumah-rumah mereka untuk menghindari virus ini.
Mengutip sebuah tulisan di media sosial tentang muhasabah,  menyatakan bahwa manusia itu lemah, namun senantiasa congkak dan sombong, senantiasa membangkang, menolak aturan Allah, memperturutkan hawa nafsu, senantiasa membuat kerusakan, dan durhaka terhadap Allah. 
Lihatlah betapa kerusakan telah merajalela di muka bumi,  kecurangan dan penipuan menjadi perilaku, seks bebas, perdagangan manusia, pembantaian dan pembunuhan, penjajahan gaya baru, riba dan zina disistemkan, manusia merasa bangga jika bisa menjauhi tuhannya. 
Begitu rusaknya dunia saat ini hingga alampun marah, gunung Merapi siap meletus, asteroid siap menghantam, gempa bumi terjadi dimana-mana. Termasuk wabah virus Covid-19.

INTROPEKSI DIRI

Wabah korona yang sedang berlangsung dalam bulan puasa tahun ini  semestinya   menjadi momen muhasabah diri. Kenapa hanya dengan virus covid-19 yang sangat kecil, manusia tidak bisa berbuat apa-apa dan nyaris tak berdaya terutama untuk memperoleh obat penangkalnya. 
Tentu, ada pesan yang lebih besar dari itu. Manusia tidak boleh berperilaku sombong, congkat dan angkuh. Bagi orang-orang beriman apapun yang terjadi saat ini tak lebih dari sebuah cobaan yang membuat  semakin bertaqwa kepada Allah dan bukan sebaliknya. 
Manusia harus berperilaku adil di dunia ini. Bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan berbagai makhluk yang ada didunia termasuk alam sekitar. 
Makanya, Ramadhan tahun ini, haruslah menjadi titik tolak perubahan diri khususnya muslim di dunia. Kembali ke jalan ilahi, dengan bertaubat dan sadar bahwa manusia tak berarti apa-apa. Semuanya ada yang maha mengendali semuanya. 
Semoga Ramadhan tahun ini, manusia kembali kepada fitrahnya sebagai khalifah dalam konteks mengatur keseimbangan alam. Sehingga alam dengan isinya tak merubah diri menjadi makhluk yang ganas dan menghancurkan seperti yang kita rasakan saat ini. Wallahu Ta'ala "Alam.

Resent Post

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Join Us

Setiap Tulisan yang Ingin diambil atau dicopy di Blog ini Sangat Etis Bila diberi tahu. Diberdayakan oleh Blogger.

Video

Popular Posts

Video of Day

Our Facebook Page

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Find us on Facebook

Our Facebook Page

About

News

Opinium